Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dua Sudut Pandang Novel Arafah Rianti

Saya bersyukur karena berjalan lancar proyek pembuatan novel cinta segitiga dengan judul “Aku, Arafah dan Cinta Segitiga”. Moga Arafah juga bersyukur, sambil sujud syukur tanpa mendengkur. Kali ini akan membahas sudut pandang dalam novel Cinta Segitiga atau disebut novel Arafah. Mengapa novel Arafah? Karena itu buah bakti saya sebagai bodyguard, haha... Dalam dunia fiksi, sudut pandang merupakan bagian dari unsur penulisan yang tidak bisa ditinggalkan. Maka ada novel yang bergaya “Akuan” dan “Diaan” dalam sudut pandang ceritanya.


Bagaimana maksud sudut pandang Akuan dan Diaan? Kalau dijelaskan secara definisi, mungkin akan tambah bingung. Maka untuk mempermudah penjelasan, mari membuat contoh novel dengan sudut pandang Akuan.

Contoh sudut pandang Akuan:
Sebagai kakak imajiner kamu, aku akan selalu melindungimu, Arafah. Walau badai menghadang, pasti kabur kemudian. Aku akan menjadi bayanganmu yang konyol tidak mau melepas diri. Ah, sudah lah. Aku terlalu menghayal kedekatan kita yang tidak kunjung menjadi nyata. Teragis sekali nasibku, sampai nyungsep tidak ketulungan hasil perjuanganku.

Contoh sudut pandang Diaan:
Sebagai kakak imajiner, Elbuy akan selalu melindungi sosok gadis yang bernama Arafah. Walau badai menghadang, pasti kabur kemudian. Elbuy akan menjadi bayangan Arafah yang konyol tidak mau melepas diri. “Ah, sudah lah,” mungkin kata Ebuy dalam hati. Elbuy terlalu menghayal kedekatan dengan sosok Arafah yang tidak kunjung menjadi nyata. Teragis sekali nasibnya, sampai nyungsep tidak ketulungan hasil perjuangannya.

Artinya, sudut pandang Akuan lebih kepada salah satu tokoh cerita menceritakan sesuatu keadaan. Di manapun alurnya, si tokoh harus hadir, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Tanpa kehadiran tokoh, alur cerita tidak akan terjadi. Bila seperti ini, kelemahan yang terjadi adalah, si tokoh tidak bisa menceritakan tokoh lain yang tidak sedang melibatkan tokoh pencerita. Mustahil bisa menceritakan toko lain bila tokoh pencerita tidak hadir.

Bagaimana dengan sudut pandang Diaan? Maka pencerita di luar dari tokoh. Artinya si pencerita tidak sebagai salah satu tokoh cerita. Si pencerita mencoba menghadirkan cerita dalam cara pandang objetif. Berbeda dengan sudut pandang Akuan yang lebih kental subjektifnya. Objektif di sini hanya menceitakan sesuatu yang tampak dalam gerak, suara dan kondisi pennggambaran. Tidak bisa menembus ke dalam hal yang tidak terlihat seperti isi hati dan pikiran kecuali dugaan belaka.

Lalu bagaimana dengan novel Arafah? Dalam membuat novel Arafah, saya menghadirkan sudut pandang Akuan yang mana terjadi dua pencerita dalam diri tokoh. Tokoh Elbuy yakni saya sendiri bercerita seputar alur novel. Pun demikian, Arafah bercerita tentang alul novel juga. Elbuy dan Arafah sama-sama menjadi pencerita dan juga tokoh utama.

Harapan konyolnya sih, di kemudian hari Arafah mau menyumbang cerita untuk novel ini walaupun hanya di beberapa bab novel. Hal ini bisa dilakukan apabila mengambil sudut pandang Akuan. Tapi saya tidak mau merepotkan Arafah mengingat pembuatan novel bukan bermasud ada kepentingan bersama Arafah tetapi hanya inisiatif saya sendiri sebagai upaya pemberian spesial untuk Arafah.

Mengapa tidak mengambil sudut pandang Diaan? Alah, tidak asik dong. Entahlah, saya tidak punya niatan untuk membuat novel dengan sudut pandang Diaan. Jauh lebih merasa dekat dengan Arafah bila saya menghadirkan sudut pandang Akuan. Dan harusnya memang mengambil sudut pandang Akuan karena novel ini lebih kepada pemberian spesial untuk Arafah. Jadi, saya sebagai Elbuy, harus masuk sebagai pencerita dan juga tokoh utama dalam novel Arafah.

Apakah Arafah akan mau dihadiahi novel? Mau atau tidak, tidak ada kepentingan. Ribet juga memberikannya karena ada beberapa faktor penghalang yakni “Kita siapa?” Jelasnya, sebagai pecinta Arafah, tidak salah dong memberikan sesuatu yang dinilai berharga di mata sang idola? Tetapi tetap tidak ada niatan serius untuk menghadiahkan novel untuk Arafah. Paling hanya dicetak ebook dan dibagikan gratis. Kalau mau ada yang versi cetak kertas, saya akan patok harga biaya cetaknya.

Kembali ke sudut pandang cerita. Apa alasan saya mengambil sudut pandang yang mana beberapa tokoh sebagai pencerita? Dalam hal ini, Elbuy dan Arafah yang sebagai pencerita. Hal ini perlu dijelaskan agar tidak menimbulkan kecurigaan karya, ceileh. Intinya, ada alasan logis mengapa harus memiliki dua pencerita dalam novel Arafah.

1. Dua Sudut Pandang Ingin Melibatkan Langsung Cerita Dari Arafah

Kalau takdir mempertemukan saya dan Arafah dalam kerjasama karya, maka novel yang sudah saya tulis sudah disiapkan untuk bisa melibatkan kerjasama karya. Memang dari bab 1 sampai 13, saya yang sebagai Elbuy sendiri yang bercerita seputar novel Arafah. Pada bab berikutnya yakni bab 14, saya sudah memberikan kesempatan pada tokoh Arafah untuk bercerita alias sebagai pencerita. Kalau tidak disiapkan dari sekarang, sulit sekali bila terjadi kerjasama penulisan karya novel. Di bab lain pun, saya akan memberikan kesempatan lagi untuk Arafah.

Saya berencana ingin membuat novel berjilid-jilid dengan edisi “Cinta Segitiga”. Untuk sekarang, jilid pertama, novel Arafah masih dalam judul “Aku, Arafah dan Cinta Segitiga”. Pada jilid kedua, di saat saya dan Arafah secara rill sama-sama sudah berkeluarga, akan lain judulnya. Bisa jadi berjudul, “Aku, Arafah dan Keluarga Bercerita” atau lainnya. ‘’Selagi saya dan Arafah masih hidup, mungkin akan selalu menulis novel untuk blog ini. Nah, dengan alasan ini, harusnya memiliki beberapa pencerita. Maka untuk sementara hanya dua pencerita saja. atau mungkin dua saja.

Bagaimana bila Arafah tidak mengisi cerita ini? Oh, justru Arafah tidak perlu terlibat langsung pembuatan cerita. Aduh, lelah sekali dong. Harapan konyol saja, barangkali takdir berkata lain. Bisa jadi justru Arafah yang meminta ikut bergabung menulis. Seneng sekali menerimanya.

2. Mengharuskan Memiliki Dua Sudut Pandang Demi Spesial Tokoh

Sudah saya katakan, novel ini adalah pemberian, persembahan spesial saya untuk Arafah. Ya, walaupun Arafah tidak membaca, bahkan tidak tahu, tetapi niat membuat novel adalah salah satunya untuk dipersembahkan untuk Arafah. Walaupun niatan lainnya untuk kebutuhan pengembangan karya. Ketika menghadirkan spesialisiasi, maka alangkah baiknya menghadirkan dua sudut pandang sehingga Arafah diberikan hak untuk menjadi pencerita.

Bayangkan bila sosok Elbuy saja yang sebagai pencerita, full sampai akhir novel, apakah tidak mengalami kejenuhan cerita? Untuk penulis kelas pemula, akan mengalami kejenuhan cerita karena tidak bisa menghadirkan variasi cerita berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan skill penulisan. Nah, saya sebagai pemula dalam hal novel tentu akan mengalami kejenuhan cerita. Akhirnya apa? Sosok Arafah seperti ditelantarkan di saat saya ingin memberikan spesial novel untuk Arafah. Nyambung spesialnya bagaimana bila Arafah dibiarkan seperti terlantar, tidak hidup? Jadi, saya harus mengalihkan sudut pandang alias pencerita pada sosok Arafah agar terlihat suguhan spesialnya.

Tidak ada yang salah, bukan bila mengambil dua sudut pandang dalam novel? Tidak saja lah. Nanti akan dijelaskan mengapa tidak salah.

3. Dua Sudut Pandang Demi Menghidupkan Beberapa Tokoh

Secara estetika pun, ketika tidak menghadirkan dua sudut pandang, cerita akan terkesan hambar. Mengapa? Karena dalam novel, yang paling menonjol adalah sosok Elbuy da Arafah. Memang ada tokoh utama yang lain yang bisa untuk meminimalisir kehambaran ketika hanya mengambil satu sudut pandang. Tetapi masalahnya, tokoh utama lain yang dihadirkan tidak memiliki jalinan serius dengan sosok Elbuy yakni saya sendiri. Katakanlah tokoh lainnya bernama “Linda”. Tetapi sosok Linda tidak menjalin serius dengan diri saya sehingga ketika menghadirkan satu sudut pandang, tidak maksimal menceritakan antara Arafah dan Linda. Harusnya, sosok Linda pun dihidupkan mengingat ia adalah tokoh utama cerita juga yang mendampingi kehidupan Arafah.

4. Alasan Ciri Khas Novel Arafah

Novel yang saya buat bergaya komedi serius yang cenderung absurd. Dalam peralihan sudut pandang pencerita, dari Elbuy ke Arafah, ada alur yang sebagai ciri khas sebuah novel Arafah. Dalam peralihan, saya membuat dialog keabsurdan yang berbau komedi namun serius. Untuk lebih jelasnya, perhatikan penggalan cerita akgir bab 13 dan awal bab 14.

Penggalan Cerita Bab 13:
“Aduh,” tiba-tiba mulutku terkunci. Rahang kaku tidak bisa bergerak. Aku tahu biangnya. “Arafah!”

“Wek, kekekekk! Biarin. Aku kunci mulut kakak biar gak bisa ngomong lagi. Sekarang, aku ambil alih cerita. Enak aja, kakak mulu yang cerita,” kata Arafah dalam wujud bayangan.

Penggalan Cerita Bab 13:
“Hm... Biarin dah, cerita gua ambil alih. Istirahat dulu deh, Kak.”

“Buka dulu kuncinya. Kepaksa Absurd lagi nih...” Ada suara yang bisik-bisik. Kenal sekali suara itu. Suara bisik-bisik Kak Elbuy.

“Pake bilang kepaksa. Gak ikhlas nih diusilin adikmu sendiri.”

“Usilin sih usilin, pake ngerebut cerita segala.. Heh...”

“Kekekek... Biarin. Ya udah, aku buka. Cekrek cekrek cekrek.... Jadi deh foto 3x4. Ya sudah, aku lanjut cerita lagi ya...”

“Sok lah. Yang enak. Awas kalau gak enak, aku kasih garam dan asam ampe sebotol kecap.”

Aku senyum-senyum saja. Cerita aku ambil alih karena aku merasa memiliki hak menjadi pencerita seperti Kak Elbuy. Lagi pula, aku kan Adik imajiner Kak Elbuy yang paling disayang. Masak tidak boleh? Lagi pula, aku juga penulis walaupun garapan tulisannya lebih ke Stand Up Comedy.

Untuk peralihan sudut pandang ke pencerita lainnya, tidak mengharuskan seperti di atas. Itu hanya memuat ciri khas saja sekaligus pembukaan peralihan sudut pandang. Pada tahap berikutnya, tentu akan mengalir begitu saja.

Memiliki dua sudut pandang menjadi sebuah ciri khas sendiri atas sebuah novel. Dan kehadiran dua sudut pandang pun dianggap dibutuhkan, bukan sekedar ciri khas belaka.

5. Di Titik Tertentu Mengharuskan Ada Peralihan Sudut Pandang

Dua sudut pandang yang di maksud tetap dalam kategori sudut pandang Akuan. Hanya saja ketika ada peralihan tokoh si pencerita, maka si pencerita yang tadinya membahas malah dibahas. Di sinilah makna peralihan sudut pandang. Maka dari itu, tidak sah menggunakan konsep sudut pandang Diaan dalam novel seperti pakem yang sudah umum dipahami yakni pencerita tidak sebagai tokoh cerita. Harus sudut pandang Akuan karena ketika ada peralihan cerita, secara jelas akan mengalami perbedaan pencerita.

Lagi pula, sudut pandang Diaan tidak perlu ada peralihan pencerita karena si pencerita bisa secara dengan mudah mengalami peralihan dari tokoh ke tokoh. Berbeda dengan sudut pandang Akuan, tidak bisa beralih beralih dari tokoh ke tokoh tanpa kehadiran si pencerita. Maka ketika ada masalah sudut pandang Akuan yang mengharuskan beralih pada si pencerita lain, maka langkah itu perlu dilakukan. Demi kehidupan cerita, memang harusnya ada peralihan sudut pandang alias peralihan si pencerita.

Hal peralihan sudut pandang pun pernah dilakukan novelis Fira Basuki dalam novel seri Miss.B. Pada sebagian besar cerita memang menghadirkan sosok Miss.B alias Beauty sebagai pencerita sekaligus tokoh utama. Namun ketika ada kasus Miss.B kabur dibawa mantan kekasih sebelum pernikahan, yang menangani kesedihan ibundanya adalah temannya, katakanlah Yeyen. Si Yeyen mengambil alih sebagai pencerita yang membahas kaburnya Miss.B. Mengapa mengalami peralihan? Karena siapa lagi yang membahas kesedihan ibundanya bila masih dipegang Miss.B dalam ceritanya?

Begitu juga dalam novel Arafah, saya harus mengalami perubahan si pencerita karena sosok Tante masih belum nampak bila terus-menerus pencerita ditampilkan dalam sosok Elbuy. Ketika pencerita dialihkan ke sosok Arafah, suasana menjadi jauh lebih segar dalam menampilkan sosok tante yang masih belum terhubung dengan baik.

Walau demikian, peralihan sudut pandang alias pergantian si pencerita memang tidak bisa sembarangan. Harus ddi salah satu bab novel khusus. Artinya, membuat bab novel khusus yang sebagai peralihan pencerita. Tidak boleh bercampur jadi satu. Contohnya seperti di novel Arafah yang ada peralihan pencerita ketika berganti bab novel.